Kanker sering diidentikan dengan kematian. Hal it tak sepenuhnya benar. Penemuan berbagai terapi baru telah membuat kanker tak ubahnya penyakit lain. Jadi, ada harapan besar bagi orang bisa selamat dari kanker dan hidup dengan kualitas baik.
Jesme Fox, Direktur Medis Yayasan Kanker Paru Roy Castle Inggris yang juga Sekertaris Koalisi Kanker Paru Global yang bergerak dibidang advokasi, menyatakan, perlu perspektif lebih positif dalam memandang kanker. Penderita kanker memiliki harapan sembuh besar jika ditemukan lebih dini. Karena itu, masyarakat awam perlu mendapat informasi lebih banyak tentang gejala kanker dan mewaspadainya.
Gejala kanker paru umumnya baru tampak setelah bertahun-tahun sel kanker tumbuh. Kerap kali mirip gejala penyakit tak serius seperti flu. Batuk kronik lebih dari tiga minggu merupakan salah satu gejala awal kanker paru. Gejala lain adalah batuk darah, sesak napas, sakit atau pegal dipundak, punggung, dada dan lengan. Itu disebabkan sel kanker menekan saraf.
Hal senada dikemukakan Prof Matin Reck, Kepala Departemen Onkologi Toraks, Klinik Paru Grosshansdorf, Jerman. Umumnya pasien didiagnosis pada stadium lanjut. Operasi hanya bisa dilakukan pada kanker paru stadium awal. Jika sudah lanjut, hanya bisa ditangani dengan radioterapi, kemoterapi atau terapi target. Jika pengobatan lini pertama gagal, hanya 50-70 persen pasien mendapat obat lini kedua. Sisanya berhenti berobat, bisa karena kehabisan biaya atau kondisi fisik tak mampu lagi menerima pengobatan.
Kanker paru merupakan kanker paling umum didunia. Ada 1.8 juta kasus baru dan 1.6 juta kematian per tahun. Kasus pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Kasus tinggi terjadi di Eropa timur dan selatan, Amerika utara serta Asia timur. Hampir 80 persen kasus kanker paru didiagnosis pada stadium lanjut, hanya 7 persen pasien hidup lima tahun setelah didiagnosis.
Hampir 85 persen kanker paru karena asap rokok, pada perokok aktif atau pasif, orang yang menghirup asap rokok. Penyebab lain adalah kontak dalam waktu yang lama dengan asbes, gas radon, dan bahan kimia tertentu. Penyakit paru lain bisa meningkatkan risiko kanker paru.
Kemoterapi
Penemuan kemoterapi untuk kanker merupakan kemajuan besar bidang kedokteran paruh kedua abad ke-20. Namun, pada kanker tertentu, seperti leukimia limfoblastik, limfoma hodgkin, dan limfoma non-hodgkin, kemoterapi tidak mempan. Selain itu, kemoterapi juga tak mampu membedakan sel kanker dengan sel normal sehingga justru merusak sel normal. Akibatnya, pasien bisa terganggu ginjal, jantung ataupun organ vital lainnya.
Terapi Target
Kini, zat kemoterapi diganti dengan zat terapi generasi baru yang mampu mengenal target tertentu dalam sel kanker. Dengan terapi target, efikasi zat ditingkatkan dan efek samping dikurangi.
Umumnya terapi target fokus pada protein yang terlibat dalam proses pertumbuhan dan pembelahan sel kanker. Kelompok zat terapi target antara lain penghambat transduksi sinyal, yakni zat penghambat enzim spesifik dan reseptor faktor pertumbuhan tertentu yang terlibat dalam pertumbuhan sel kanker.
Jenis zat terapi lain adalah penghambat angiogenesis, yakni menghambat pertumbuhan pembuluh darah yang mengantar nutrisi dan oksigen ke sel kanker. Ada pula penghambat siklus sel kinase, yakni protein yang mengontrol perintah pembelahan sel (mitosis), dan monoklonal antibodi yang punya banyak fungsi diantaranya menandai sel kanker agar dibasmi sistem kekebalan tubuh, mencegah pembentukan pembuluh darah baru menuju sel kanker, dan membawa zat radiasi ke sel kanker.
Salah satu zat terapi target penghambat transduksi sinyal untuk kanker paru adalah afatinib. Zat ini sudah diizinkan beredar di lebih dari 40 negara, termasuk Jepang, Taiwan, Kanada, Meksiko, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Analisis terbaru menunjukkan, afatinib bisa menurunkan 19 persen risiko kematian pada kanker paru bukan sel kecil (NSCLC) dengan mutasi epidermal growth factor receptor (EFGR) berupa delesi pada ekson 19 ataupun ekson 21. Pasien hidup rata-rata 3 bulan lebih lama jika mulai pengobatan dengan afatinib dibandingkan yang mulai dengan kemoterapi. Hal itu diumumkan pada pertemuan Perkumpulan Onkologi Klinik Amerika (ASCO) pada 30 mei-3 juni 2014.
Peneliti utama Prof James Chin-Hsin Yang dari RS Universitas Nasional Taiwan menyatakan, “hasil dua uji afatinib yang independen menunjukkan, pemakaian afatinib sebagai obat lini pertama bisa memperpanjang usia pasien kanker paru dengan mutasi EFGR delesi exon 19 dibandingkan kemoterapi.” Waktu kesintasan (survival) pasien sejak diobati sampai meninggal rata-rata lebih panjang satu tahun dibandingkan pasien yang mengawali dengan kemoterapi.
Prof Martin Schuler dari Pusat Kanker Jerman Barat di RS Universitas Essen, Jerman, yang juga peneliti utama menyatakan, “melanjutkan terapi afatinib bersama kemoterapi jika afatinib saja tak mempan, bisa memperpanjang usia pasien dibanding penghentian afatinib dan hanya memakai kemoterapi.”
Sebagai gambaran, 47 persen pasien yang diterapi dengan afatinib dan kemoterapi bertahan hidup dan tak kambuh seusia satu tahun diterapi. Pasien yang hanya dikemoterapi, hanya 2 persen bertahan hidup. Pasien yang tumornya mengecil 2-3 kali lebih banyak pada kombinasi afatinib dan kemoterapi.
Efek samping afatinib yang umum adalah diare, ruam kulit, jerawat, radang mulut dan tenggorokan. Adapun efek samping kemoterapi umumnya mual, muntah, nafsu makan menurun, letih dan penurunan sel darah putih.
Obat lain yang dibahas adalah nintedanib, obat oral penghambat angiogenesis menarget pada reseptor yang terlibat pembentukan pembuluh darah baru dan pertumbuhan sel kanker. Nintedanib adalah obat lini kedua setelah kemoterapi tidak mempan. Hasil uji menunjukkan, nintedanib dikombinasikan dengan kemoterapi menurunkan 17 persen kematian dibanding hanya memakai kemoterapi dan meningkatkan kesintasan pasca satu tahun terapi.
Belum populer
Di Indonesia, terapi target relatif baru dan terbatas pemakaiannya. Selain baru digunakan untuk kanker paru, harganya relatif mahal, sekitar Rp.800.000 per tablet. Meski bisa diperoleh dengan fasilitas Askes/ BPJS Kesehatan, namun disyaratkan ada diagnosis berdasar pemeriksaan histopatologi dan mutasi EFGR positif. Selain terbatasnya laboratorium pemeriksaan mutasi EFGR di Indonesia, biayanya juga mahal yakni sekitar 3.5 juta per permeriksaan.
(Harian Kompas 24 September 2014)