Ketika melihat ekspresi yang datar dari seseorang yang baru saja melakukan hal buruk, seperti memukul atau bahkan membunuh, kita cenderung berasumsi kalau pelaku adalah seorang psikopat. Padahal, ini belum tentu tanda dari seorang psikopat, bisa jadi salah satu tanda dari skizoprenia.
Skizoprenia(schizophrenia) merupakan gangguan pikiran yang signifikan. Menurut WebMD, gejala skizoprenia termasuk disorientasi pemikiran atau gagasan, halusinasi dan ketakutan atau paranoia. Ada empat komponen atau gejala skizoprenia, yaitu positif, negatif, kognitif, afektif. Dan perlu diketahui, skizoprenia merupakan penyakit kronis, bukan penyakit yang tiba-tiba muncul.
Masing-masing gejala tersebut memiliki banyak tanda yang berbeda-beda. Penting bagi keluarga untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak, saudara atau orang tuanya, terutama jika sampai mengganggu fungsi sehari-hari.
Gejala positif dari skizoprenia adalah halusinasi atau waham. Halusinasi melihat sesuatu yang tidak nyata, misalnya melihat seseorang atau tokoh yang tidak dilihat orang lain, mendengar suara-suara yang tidak nyata, yang seolah memerintah untuk melakukan sesuatu. Gambarannya seperti pada tokoh film A Beautiful Mind (2001), The Machinist (2004), The Soloist (2009), Shutter Island (2010), dan masih banyak lainnya.
Gejala negatif adalah perilaku yang menarik diri. Memiliki interaksi yang buruk dengan lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan di tempat tinggal, pergaulan atau pun lingkungan di tempat kerja. Menarik diri dari lingkungan tersebut berkaitan dengan apa yang ia percayai, tidak sama atau bahkan ditolak oleh orang-orang disekitarnya. Ia memiliki waham atau pola pikir yang dianggap aneh, sehingga lebih memilih untuk menarik diri. Mereka cenderung berpikir orang lain tidak penting, karena yang paling penting adalah pikirannya sendiri; halusinasi dan wahamnya sendiri.
Gejala kognitif dari seseorang yang menderit skizoprenia, akan mengalami degenaratif secara perlahan. Misalnya jika ia seorang akuntan, ia kehilangan kemampuan dalam pekerjaannya, hingga akhirnya diberikan pekerjaan yang lebih sederhana. Atau bisa juga mengalami gangguan memori atau kehilangan memori. Dan gejala afektif, adanya perubahan sikap atau emosi yang tidak teratur. Seperti bicara tidak teratur atau kesulitan bicara, emosi lebih sedikit dibandingkan orang normal, sulit merespons dan disorganized. Emosi yang lebih sedikit tersebut mengalami perjalanan dari mengalami keterbatasan, datar hingga tumpul. Emosi yang tumpul tersebut , bisa disalahartikan sebagai psikopat. Psikopat tidak memiliki masalah dalam kehidupan sosial, meski tidak memiliki empati. Mereka bisa berteman, menjalin relasi, mempersuasi hingga memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Peran keluarga
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengidap skizoprenia. Yakni secara genetik maupun non genetik karena pengalaman traumatik. Misalnya seseorang yang sejak usia belia tidak pernah mengalami masalah, hidup dalam keluarga bahagia, lalu setelah dewasa mengalami gangguan pengalaman yang buruk, misalnya menyaksikan orang tuanya terbunuh, maka ia bisa menjadi skizoprenia.
Meski membutuhkan pengobatan jangka panjang, skizoprenia bisa disembuhkan dalam arti bisa dikendalikan. Terapi atau pengobatannya memakan waktu paling sedikit enam bulan, atau lebih lama, tergantung kondisi pasien. Pengobatannya memang lama, namun dengan dosis yang semakin lama semakin rendah.
Sedangkan jika pasien tidak diberikan perawatan atau pengobatan, ia akan mengalami kemunduran kognitif atau afektif yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mendapatkan perawatan, terutama jika keluarga mengucilkan atau bahkan memasungnya. Fakta yang menyedihkan ini, karena masih banyak masyarakat yang belum paham dengan penyakit skizoprenia. Jika anak mereka megalami halusinasi atau waham, kerap disalah artikan sebagai kemmapuan melihat makhluk halus.
Ironis, keluarga biasanya adalah lingkungan yang paling terakhir yang mengetahui jika salah satu anggota keluarganya menderita skizoprenia. Ini karena keluarga justru menganggap wajar hal tidak normal yang dialami. Misalnya seorang remaja yang menderita skizoprenia, lingkungan sekolah seperti temn-teman atau guru, biasanya menjadi orang-orang pertama yang merasakan perubahan perliakunya. Ketika guru melaporkan pada orang tua mengenai perubahan perilaku anaknya, misalnya yang tiba-tiba mudah emosi dan menyerang temannya, maka orang tua hanya menganggapnya sebagai kenakalan remaja biasa.
Untuk itu, keluarga, sebagai lingkungan yang terdekat, wajib peka, memperhatikan detail terhadap perubahan perilkau anggota keluarganya, terutama jika itu sampai mengganggu fungsi sehari-hari mereka. Lalu segera memeriksakan kondisinya pada psikolog atau psikiater. Misalnya ketika anak mulai berbicara sendiri, susah tidur, mengalami kebingungan, sering melakukan kegiatan tanpa tujuan, sampai hal yang sesederhana ketika tiba-tiba dia menjadi anak yang pemarah padahal dulunya tidak sama sekali.
(Suara merdeka, 6 maret 2016)